Kisah Perjuangan Hidup Orang-Orang Kecil

Kamis, 29 November 2012 | komentar


Ilustrasi/Admin (Kompas)
Ilustrasi/Admin (Kompas)
Lapangan Niti Mandala Renon pukul empat sore. Matahari masih bersinar dengan teriknya. Lapangan luas dan rimbun yang berlokasi di jantung kota Denpasar  itu mulai ramai di datangi orang-orang. Mayoritas ingin berolahraga, dari jogging, bermain sepak bola, yoga, bersepeda sampai yang hanya sekedar jalan-jalan sore. Ada juga sekelompok orang yang bernyanyi mempromosikan aliran suatu kepercayaan tertentu. Mereka bernyanyi dan menari dengan iringan tambur yang riang gembira. Tak jauh dari situ sekelompok anak muda sedang berlatih memperagakan keahllian melempar dan memutar botol sebagai bartender.
Dimana ada keramaian disitu ada peluang. Termasuk peluang mengais rejeki. Tak sedkit pedagang asongan yang memenuhi lapangan hijau kebanggaan warga Denpasar itu. Walau sebenarnya dilarang, para pedagang asongan itu bisa ditemui dimana-mana di setiap sudut lapangan. Untuk menyiasati kejaran petugas, mereka berdagang dengan cara praktis yaitu dengan membawa dagangan seadanya yang sanggup dibawa di kepala atau di gendongan. Jadi begitu petugas datang merazia, mereka gampang melarikan diri.
Namun ada juga yang membawa perabotan agak berat seperti pedagang jagung bakar. Tak terbayang betapa repotnya mereka kabur dengan gerobak pikulan yang berisi bara menyala. Aku pernah membantu seorang ibu pedagang jagung bakar lari menyelamatkan barang dagangannya, dengan membawakan sekantong arang dan beberapa biji jagung yang terjatuh.  Setelah berhasil bersembunyi di sebuah gang di seberang jalan, aku sempat berbincang-bincang dengan ibu itu. Menurutnya keuntungan yang didapat cukup untuk makan sehari-hari. Ketika kutanya berapa rata-rata, ia menjawab sekitar lima belas sampai dua puluh ribu. Uang sebesar itu musti dicukupkan untuk makan sebanyak 4 nyawa. Dan hebatnya lagi, itu adalah sumber penghasilan utama!  Ibu itu bercerita suaminya sudah meninggal dunia dan kedua anaknya masih terlalu kecil untuk bekerja. Ibu kandungnya yang sudah renta sakit-sakitan. Untuk menambah penghasilan, siang hari ia beredar di pasar tradisional Badung menjadi kuli angkut belanjaan. Dengan berbekal keranjang bambu di kepala ia mencari orang-orang yang mau dibawakan belanjaannya dengan upah suka rela.
Karena setiap hari rutin berlatih yoga di lapangan permai yang juga dikenal dengan nama lapangan Puputan, aku cukup mengenali wajah-wajah pedagang asongan itu. Selain sering membeli aneka jajanan mereka usai berlatih yoga, seperti air mineral, pisang dan kacang rebus atau lumpia dengan sambal kacangnya yang hmmm lekker, aku juga menaruh perhatian khusus terhadap satu dua yang pedagang yang seharusnya sudah tidak layak menenteng-nenteng wadah berat dagangan.
Salah satunya ibu tua yang tuna wicara. Ia berjualan air mineral dan minuman isotonik. Tubuhnya kurus dan legam. Usianya kutaksir mendekati enam puluhan.  Ia sering kutemui kala aku baru tiba di lapangan sekitar jam setengah lima sore. Itupun kelihatannya ia sudah bersiap-siap pulang. Aku sering melempar senyum padanya. Kemudian jadi rutin membeli minuman botolnya.  Begitulah, setiap melihat kemunculanku ia bergegas menyonsong dan menunjuk dus dagangan di kepalanya.  Kadang aku menggeleng jika tak membawa uang. Namun akhir-akhir ini aku tak melihat sosoknya. Ah ibu tua yang ulet, semoga ibu baik-baik saja… sayang kita tak bisa mengobrol.
Suatu sore, aku hendak menyeberang jalan raya Puputan usai berlatih. Jalan protokol yang lebar itu selalu dilalui kendaraan yang berlari kencang. Seharusnya aku menyeberang di zebra cross di perempatan lampu merah sekitar 200 meter dari tempatku berada. Tapi aku pikir sama saja karena untuk kesana aku juga harus menyeberang mengambil jalur kiri khusus sepeda. Setelah menunggu agak lama, tiba-tiba muncul seorang bapak pedagang mainan anak-anak.  Ia tersenyum dan mengambil posisi di depanku, melindungi. “Mari mbak..’ ujarnya sembari memberi tanda minta jalan kepada pengemudi-pengemudi yang melaju dari arah depan.  Aku mengucapakan banyak terimakasih ketika tiba di seberang danl menanyakan bagaimana hasil dagangnya hari ini. Ia menjawab “alhamdulillah laku satu kincir…” dengan nada penuh syukur.
Ketika belum lama tiba di Bali, seorang nenek muncul di depan pintu paviliunku. Ia menawarkan dagangannya berupa  bawang merah. Sayangnya bawang merah tersebut sudah setengah busuk dan kecil-kecil. Sudah pasti tidak bisa dimamfaatkan lagi. Untuk menolak membeli rasanya tak tega karena si penjualnya seorang nenek sepuh yang siapapun akan iba melihatnya. Apalagi ia menjual dengan harga terserah.  Aku yakin tak seorangpun bisa menolak membeli. Entah bawang merah itu akhirnya dibuang ke tong sampah.
Itu hanya segelintir kisah orang-orang kecil dengan segala keterbatasannya,  namun tetap berjuang dengan segenap upaya untuk mengais rejeki secara halal. Tak peduli hasilnya tidak seberapa, namun tetap disyukuri.  Memilih memeras keringat daripada meminta-minta atau berbuat kriminal. Aku yakin si nenek penjual bawang merah mendapatkan bawang-bawang itu dari hasil memungut sisa-sisa di pasar, yang dikumpulkan untuk dijual dengan harga terserah. Paling tidak, tubuh rentanya sudah bekerja memungut bawang-bawang itu dan berkeliling menjajakannya. Tetap ada upaya  tetes keringat untuk mendapatkan rupiah ala kadarnya.
Betapa banyak teladan yang bisa kita tiru dari mereka.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Hidup penuh Perjuangan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger